<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/6973555?origin\x3dhttp://cinta-ku.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

CINTA BERSYARAT | Saturday, December 25, 2004


Anak pintar tak selalu bermasa depan cerah. Itu terjadi bila kepandaian hanyalah sekadar syarat agar disayangi dan dicintai orang tua atau diakui lingkungannya. Anak cuma berkutat pada usaha memenuhi syarat itu. Kemampuan mengenal, mengolah, dan mengungkapkan perasaan jadi terkubur dalam-dalam. Akibatnya, ia menjadi tak bahagia dan melakukan tindakan-tindakan ekstrem.

Bagaimana pendapat Anda seandainya ada remaja cerdas dan sempat menduduki bangku kuliah ternyata terjerumus dalam dunia hitam? Pasti di antara Anda banyak yang menyayangkan, kasihan, atau bahkan ngomel menyalahkan orang tuanya. Namun, bagi yang bersangkutan, apa yang dilakukan sebenarnya justru memberikan kepuasan dan membuat dirinya merasa berarti. Contohnya, seperti yang dialami Melissa Butler (21), seorang remaja Inggris.

Mantan mahasiswi Oxford College tahun kedua ini menjalani hidupnya melalui apa yang digambarkannya sebagai "hal satu-satunya yang memberinya kepuasan", yakni menanggalkan pakaian di hadapan orang-orang tak dikenalnya sambil meliuk-liukkan tubuhnya. "Saya perlu dan ingin sekali menari telanjang karena saya menikmati perhatian yang saya dapatkan. Saya senang orang-orang menyatakan saya indah dan luar biasa. Saya merasa seperti sesosok dewi seks yang memikat. Saya tahu, saya penari telanjang fantastik. Sungguh menyenangkan bila Anda tahu Anda betul-betul hebat pada suatu hal," ungkap gadis itu.

Profesinya tentu membuat sedih Jane, ibunya. Sebagai anak dari keluarga kelas menengah, ia diharapkan meniti karier yang baik. Wajar kalau sejak kecil Melissa digembleng pendidikannya. Ia memang anak cerdas. Pun sudah bisa membaca dan menulis ketika usianya masih 18 bulan. Ibunya ingin menyelamatkannya dari "sistem pendidikan yang buruk", dan amat berambisi memberi anaknya suatu langkah awal yang baik. Pada usia 12 tahun, gadis ber-IQ 178 ini bergabung dengan Mensa, yakni asosiasi orang-orang cerdas (termasuk dalam 2% orang terpintar di negaranya) dari seluruh dunia.

Dia masuk sekolah khusus wanita di Bishop's Stortford, Hertfordshire, pada usia 10 tahun. Setelah menjalani pendidikan selama tiga tahun, ia merasa bosan dan sering diejek lantaran gemuk. Ibunya segera memutuskan untuk mendidiknya di rumah. Sejak itulah dunia Melissa cuma belajar dan belajar.

"Saya bagaikan otak berjalan - nilai A merupakan satu-satunya yang saya miliki. Saya tidak bersosialisasi, melakukan olahraga, atau hal-hal normal lainnya. Yang saya pikirkan hanya bagaimana menjadi orang pintar secara akademis," ungkapnya.

Pada usia 14 tahun dia masuk Harlow College, untuk persiapan masuk universitas. Dia mulai berkencan dengan pria yang 30 tahun lebih tua ketika usianya 15 tahun. Pada umur 17 tahun Melissa mendapat kesempatan belajar di Oxford College yang bergengsi itu untuk bidang studi politik, filsafat, dan ekonomi.

Tekanan akibat kerja keras berlebihan mulai tampak. Dia menderita anorexia (tidak ada atau kehilangan selera makan) dan bobotnya turun menjadi di bawah 44,5 kg. Menjelang kuliah di Oxford, Melissa masuk rumah sakit lantaran paru-parunya kolaps.

Oxford ternyata sebuah kejutan baginya. Dia merasakan bukan lagi bintang intelektual di antara teman-teman sebaya yang sama-sama cemerlangnya. "Saya merasa, orang lain lebih cantik, lebih pintar, dan lebih langsing dibandingkan dengan saya. Lalu, saya tak dapat bersaing pula dengan mereka secara akademis. Jadi saat itu satu-satunya kebanggaan saya pun telah tak ada lagi dalam diri saya," katanya.

Sementara itu, "Setiap orang berharap saya bisa berhasil di sekolah. Ibu saya tak lagi nonton balet demi saya. Nenek saya berhenti bekerja untuk merawat saya, karena ayah berpisah dengan ibu ketika ibu mengandung saya tujuh bulan. Saya menjadi tumpuan harapan bagi banyak orang, sehingga waktu itu saya harus mengerahkan segala kemampuan untuk mereka," ungkapnya.

Namun, rupanya Melissa tidak kuat. Ia mengalami nervous breakdown pada akhir tahun pertama kuliahnya dan, walaupun berhasil melewati ujian-ujian, memutuskan untuk istirahat kuliah selama setahun. Dia mendapat pekerjaan merawat orang jompo, membeli sebuah rumah, dan menjadi instruktur aerobik.

Keterbatasan uang, bagaimanapun membuatnya menerima pekerjaan sebagai penari di Windmill Club di London. Pada malam kedua dia minum banyak untuk memberinya keteguhan hati dan mulai mencoba menari dengan cuma mengenakan BH dan celana dalam.

Akhirnya, dia menjadi stripper penuh dan mendapatkan gelar "Naughty Oxford Totty". "Ini memang keharusan. Saya pikir, mereka semua akan menertawakan saya," ujarnya. "Tapi ketika mereka bertepuk tangan dan bersorak sorai, saya merasa hebat."

Melissa pun tidak berminat melanjutkan sekolah. "Saya tidak mau jadi korban Oxford lagi. Saya lebih senang menjadi penari telanjang yang bahagia daripada menjadi mahasiswi yang sengsara," ujarnya.

Cinta bersyarat
Melissa memang tidak sendiri mengalami perjalanan hidup yang oleh banyak orang disebut pahit itu. Masih banyak Melissa lain di dunia ini, termasuk di Indonesia. Jalur "karier" yang mereka pilih pun beragam.

Menurut psikolog Dra. Pamugari Widyastuti, Melissa adalah contoh korban dari lingkungan dengan nilai-nilai yang menekankan pada hal-hal materialistis keduniawian, termasuk prestasi akademik. Dia lebih dituntut untuk memenuhi harapan orang tua. Padahal, si anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan kebahagiaan, kehangatan. Remaja seperti dia tidak menikmati suatu interaksi sayang-manyayangi tanpa syarat. Dalam kasus Melissa, cinta yang diperoleh adalah cinta bersyarat (conditional love).

Cinta bersyarat adalah sikap orang tua yang baru memberikan kasih sayangnya kalau si anak menjadi anak baik, berprestasi, atau memberi kebanggaan pada keluarga, dan sebagainya. Kalau tidak, orang tua hanya akan memberikan kasih sayangnya yang sudah "didiskon"; bisa-bisa si anak malah kena "likuidasi" alias tak disayangi lagi. "Hal itu memang tidak terungkap secara eksplisit dari orang tua. Hanya saja dalam kehidupan sehari-hari, dalam sikap atau kata-kata orang tua akan menunjukkan kekecewaan bila anak tidak memenuhi harapan orang tua. Misalnya, gagal masuk ke sekolah tertentu atau tidak mendapat peringkat tertentu di kelas. Kalau diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan, pertanyaan orang tua bukannya 'bagaimana kamu bisa bahagia?', melainkan 'bagaimana kamu bisa membanggakan kami?'" jelas psikolog ini.

Jadi, tambahnya, dalam hal ini anak tidak diberi kesempatan untuk memilih. Bukan kebahagiaan anak yang ditekankan, tetapi anak justru dijadikan alat untuk mengisi kebutuhan orang tua akan kebanggaan diri.

"Itu yang menghambat penerimaan diri seorang anak secara seutuhnya. Karena semuanya pakai syarat. Padahal, Tuhan itu memberi cinta tanpa syarat, lo!" tegas Pamugari.

Salah satu alasan mengapa tidak sedikit orang tua yang mengasuh anaknya dengan pola semacam itu ialah kuatnya pengaruh nilai-nilai lingkungan yang senantiasa mengaitkan makna kesuksesan dengan prestasi (berbentuk sertifikat, gelar), kedudukan (berupa jabatan), atau prestasi materialisme (kekayaan berwujud sederet mobil mewah atau rumah megah). Dengan orientasi semacam itu, orang cenderung respeks pada mereka yang secara fisik tampil dengan berbagai prestasi, kedudukan, atau kekayaannya. Padahal, menurut Pamugari, semua itu kamuflase. Celakanya, sekarang nilai-nilai itu semakin dominan. Tak pelak, untuk bisa mencapai segala macam atribut materialisme itu, sadar atau tidak, orang tua umumnya lalu mendorong anaknya masuk ke sekolah terbaik, mendapatkan peringkat tertinggi, dan sebagainya.

Karena itu, di dalam banyak keluarga, anak dibesarkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan guna mendapatkan pengakuan dari lingkungan. Pendidikan dan pengasuhan anak tidak diarahkan pada kemampuan anak mengenal kebutuhan pribadinya. Bisa dikatakan, anak tidak dibiasakan mengenal perasaannya, emosinya. Akibatnya dia miskin, perkembangan intelegensi dan kecerdasan emosinya tidak seimbang, sehingga bisa menimbulkan perilaku-perilaku ekstrem. Ia akan melepaskan diri dari beban-beban akibat tuntutan lingkungan dengan melakukan perubahan-perubahan radikal.

Hayati perasaan anak
Bila anak sampai terjerumus ke dalam kehidupan seperti dialami Melissa, orang tua bisa dianggap bersalah. Kekeliruan itu dalam hal pola mengasuh anak, yakni hanya menekankan pada prestasi berdasarkan kasih sayang bersyarat. Orang tua memberi ketidakseimbangan dalam proses perkembangan jiwa anaknya. Anak akan merasakan, dengan mengasah kecerdasan rasio dia akan lebih bisa diterima oleh lingkungan. Karenanya, dia harus mendapat status kependidikan yang tinggi.

Keadaan akan semakin parah manakala dalam pendidikan formal justru terjadi pemisahan atau dikotomi antara kehidupan dan ilmu, yang mempelajari alam dan seisinya. Di sekolah, ilmu tadi diajarkan secara terkotak-kotak. Ada pelajaran biologi, kimia, fisika, matematika, dsb. Namun, aspek emosi tidak dipelajari atau dikembangkan. Anak-anak mempelajari ilmu alam hanya melalui buku, mereka tidak melihat alamnya. Jangan heran kalau kemudian ada anak yang tidak bisa membedakan mana sapi dan mana kambing, atau menyebut sapi sebagai kucing.

Orang tua memang tidak bisa mengubah sistem pendidikan yang sudah ada. Dalam kondisi demikian, pihak orang tua yang mesti pandai-pandai membina, memupuk harga diri anak melalui sistem pendidikan yang menekankan pada cinta tak bersyarat. Untuk itu, orang tua perlu mengenal kebutuhan dasar mereka, mulai dari kebutuhan biologis (makan, minum, dan seks - ketika dewasa) hingga kebutuhan akan rasa aman, baik fisik maupun psikologis.

Rasa aman fisik bisa dijamin misalnya dengan memiliki rumah yang tidak bocor, pintu rumah bisa dikunci, dan sebagainya. Rasa aman psikologis dapat dijamin misalnya dengan menerima anak apa adanya. Meskipun berbuat kekeliruan, anak tetap diterima sebagai seorang anak. Perbuatan keliru itu mungkin karena dia sedang mencari mekanisme untuk berkiprah yang sesuai dengan dirinya. Yang juga perlu disadari, anak tidak harus serta merta sama dengan orang tua mereka dalam berbagai hal. "Kalau anak sudah merasa diterima apa adanya dengan segala kekurangannya, secara psikologis dia akan merasa aman," tutur Pamugari.

Ia pun memberi contoh, kalau anak mendapat nilai 8, orang tua tidak sepatutnya menyatakan bahwa anak lain bisa mendapatkan angka 9 sambil mengharapkan anak meningkatkannya pada semester berikutnya. Sikap itu sebenarnya merupakan penolakan orang tua. Akan lebih bijaksana kalau justru ditanya apakah hasil itu sudah memuaskan atau membahagiakan diri si anak. Keberhasilan hidup bukan cuma dari angka yang diperoleh di setiap mata pelajaran, tetapi juga dari keberhasilan membina hubungan antarmanusia dengan membawa harga diri yang mantap.

Sikap empati, mau menghayati perasaan anak, hendaknya diberikan orang tua dalam mendidik anak. Perasaan merupakan indikasi seseorang butuh atau tidak butuh sesuatu. Kalau anak terlihat sedih, artinya dia membutuhkan kedekatan, kehangatan. Kalau perasaannya bahagia, berarti kebutuhannya sudah terpenuhi. Kalau tampak bingung, mungkin pilihan di hadapannya tidak ada yang sesuai. "Jadi yang menjadi acuan dalam pendidikan atau pengasuhan yang baik adalah perasaan si anak, bukan tuntutan lingkungan," tambahnya.

Sikap yang sebaiknya juga tidak ditunjukkan kepada anak adalah mudah menilai. Sepulang sekolah anak mengungkapkan kekesalannya pada seorang temannya karena ia dinilai sebagai anak sombong. Kurang bijaksana kalau orang tua kemudian memberikan penilaian atau konfirmasi dengan menyatakan, "Coba deh kamu bergaul yang baik. Kamu nggak boleh sombong." Atau, "Mungkin kamu memang sombong!" Akan lebih enak kalau orang tua menanyakan perasaan atau penghayatan dia terhadap situasi itu, misalnya dengan menanyakan, "Jadi, kamu kecewa, ya?", atau "Bagaimana perasaanmu?"

Setelah diajak mengenal perasaannya dan mengungkapkannya, anak kemudian diajak memilah mana yang tepat dari perasaan-perasaan itu untuk mengubah perasaan negatif menjadi positif. Rasa bersalah atau kecewa merupakan perasaan negatif. Tugas orang tua adalah mengajak atau menuntun mereka mengubah perasaan itu menjadi positif, misalnya merasa puas atau bisa diterima oleh teman. Caranya, umpamanya dengan menceritakan pengalaman baik serupa yang pernah dialami orang tua.

Untuk memperkaya emosi anak, orang tua juga bisa memberi kesempatan kepada anak untuk mencicipi kegiatan yang dia inginkan, misalnya di bidang musik atau olahraga. Dalam pendidikan formal bidang-bidang ini masih dianggap kurang penting seperti halnya mata pelajaran "mafia": matematika, fisika, dan kimia. Padahal, melalui kegiatan berkesenian dan olahraga anak bisa berlatih mengolah perasaan dan memupuk sportivitas. Berhasil atau tidak, kalah atau memang tidak perlu dipermasalahkan orang tua. Namanya juga mencicipi. Lagi pula, tidak semua pecatur bisa jadi Grand Master macam Utut Adianto. Cuma ada satu atau dua orang yang bisa seperti itu, ibaratnya.

Yang penting, anak telah diberi kesempatan untuk mencicipi (menghayati), supaya kalau anak membaca berita di koran tentang catur, dia akan tahu sulitnya. Kalau melihat pergelaran tari, dia tahu berapa jam diperlukan untuk berlatih. Bila melihat lukisan, dia tahu susahnya melahirkan ide lukisan. Kalau tidak pernah mencoba, dia tidak bisa menghayati dan ikut bicara. Kehidupan emosinya jadi kering, miskin.

Dengan kesempatan untuk mengenal, mengolah, dan mengungkapkan perasaan, kehidupan emosi anak akan diperkaya. Tanpa dituntut untuk memenuhi harapan lingkungan, termasuk orang tua, yang umumnya bersifat materialistis, anak juga akan merasa diterima apa adanya. Kasih sayang yang dia terima tak lagi dirasakan sebagai bersyarat. Korban-korban cinta bersyarat macam Melissa pun bisa dihindarkan. (I Gede Agung Yudana)

*************************
Created at 1:55 PM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

May 2004[x] June 2004[x] December 2004[x] January 2005[x] April 2005[x] July 2005[x] August 2005[x] September 2005[x]